Oleh: Didim Dimyati
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Proses kelahiran, dan perkembangan Persatuan Ummat Islam
dari 1911-2011 sebagai organisasi massa Islam merupakan suatu hal yang
sangat kompleks. Untuk mendapatkan eksplanasi dari realitas yang kompleks
tersebut digunakan pendekatan multi-dimensional. Sebelum melakukan fusi menjadi
Persatuan Ummat Islam (PUI), organisasi yang dipimpin Abdoel Halim dan Ahmad
Sanoesi di satu pihak ada yang menyebutnya sebagai organisasi
tradisionalis. Sementara di pihak lain ada yang menyebutnya sebagai
organisasi modernis. Untuk menjelaskan hal tersebut dapat digunakan konsep
organisasi Islam modern dari Deliar Noer (1983: 181-184).
Dalam perjalanannya dari 1952-1991, Persatuan Ummat Islam
mengalami perkembangan dalam bentuk konflik atau disintegrasi, seperti:
bagaimana dan mengapa mereka memilih keluar dari anggota istimewa partai
Masyumi atau mengapa terjadi pengunduran pelaksanaan
Muktamar PUI ke-4 dan ke-5?
Untuk menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi diperlukan
teori konflik dari Lewis A. Coser. Teori ini relevan untuk menjelaskan berbagai
fenomena konflik seperti perselisihan, perang, revolusi, kompetisi, dan
sebagainya, baik yang menyangkut pertentangan kolektif maupun individual
(Turner, 1978: 183-184). Lewis A. Coser berpendapat bahwa intensitas konflik
ditentukan oleh kondisi-kondisi tertentu. Semakin disadari
kondisi-kondisi penyebab konflik dan keterlibatan
emosional pihak-pihak yang terlibat konflik
semakin tinggi intensitas konflik.
Kehebatan konflik ditentukan oleh realistis
dan tidaknya tujuan yang hendak dicapai; Semakin realistis
tujuan yang hendak dicapai oleh
pihak-pihak yang terlibat, semakin rendah tingkat kehebatan
konflik, demikian pula sebaliknya. Mengenai lamanya konflik, menurut Lewis A.
Coser, ditentukan oleh tujuannya; semakin terbatas tujuan yang hendak
dicapai, semakin singkat berlangsungnya konflik, demikian pula sebaliknya
(Turner, 1978: 164-172).
Perkembangan
Persatuan Ummat Islam hingga memasuki era reformasi masih berada dalam posisi
“diam” sebagai dying organization. Baru pada Pemilu 1999, 2004, dan Pemilu
2009, sejumlah kader dan jama’ah Persatuan Ummat Islam mulai banyak yang masuk
menjadi anggota partai politik dan dengan tanpa ragu menyebut diri sebagai
jama’ah atau kader Persatuan Ummat Islam. Persatuan Ummat Islam semakin
mendapatkan pengakuan di masyarakat, khususnya Jawa Barat setelah
diselenggarakan Muktamar PUI ke-11 (2004). Pada muktamar tersebut Persatuan
Ummat Islam mulai melakukan perubahan, perbaikan, dan penyesuaian organisasi.
AD/ART, tata organisasi, dan sejumlah atribut Persatuan Ummat Islam termasuk
bendera dan lambang disempurnakan. Hal ini pun dapat dijelaskan melalui teori
konflik. Menurut Lewis A. Coser, penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui
dua cara, yaitu melalui kekerasan bersenjata atau melalui kompromi (integrasi).
Penyelesaian politik yang efektif biasanya melalui cara yang kedua. Dalam hal
ini Persatuan Ummat Islam memilih jalan penyelesaian konflik dengan cara
kompromi, sehingga tujuan akhirnya adalah terwujudnya integrasi.
B.
Rumusan Masalah
1. Siapa Pendiri PUI ?
2. Bagaimana Sejarah Singkat PUI?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Para Pendiri PUI
2. Untuk Mengetahui Sejarah Singkat PUI
D.
Metode Penulisan
Metode
yang digunakan adalah metode deskriktif, dimana permasalahan bersifat apa
adanya serta diiringi dengan interpretasi rasional yang seimbang. Adapun sumber
informasi diperoleh melalui studi kepustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Para Pendiri PUI
1. K.H ABDUL HALIM
KH Abdul Halim (Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 4
Syawal 1304/26 Juni 1887-Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, 1381
H/1962 M). Ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang
pendidikan dan kemasyarakatan, yang memiliki corak khas di masanya. Nama
aslinya adalah Otong Syatori. Kemudian setelah menunaikan ibadah haji ia
berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama KH. Muhammad Iskandar,
penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Mutmainah binti Imam
Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah
dengan Siti Murbiyah, putri KH. Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad
Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).
Ia mendapat pendidikan agama sejak kecil. Pada usia 10 tahun ia
sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang
kiaki di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22
tahun. Kiai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar di Pondok Pesantren
Ranji Wetan, Majalengka , kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke
pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3
tahun. Tercatat beberapa kiai yang menjadi gurunya, antara lain KH. Abdullah di
Pesantren Lontangjaya, desa Penjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka; KH.
Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon; KH. Ahmad Sobari di
Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan; KH. Agus di Pesantren Kedungwangi,
Pekalongan, Jawa Tengah; kemudian kembali lagi ke Pesantren Ciwedus. Di
sela-sela kehidupan pesantren, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang, seperti
berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama. Pengalaman
dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya mebaharui sistem
ekonomi masyarakat pribumi. Pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat ke Mekah
untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana
selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mepelajari tulisan-tulisan
Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami
pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan
kahtib Masjidil haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula ia bertemu
dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911 M ia kembali ke
Indonesia.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa
Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan
bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman
pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun
dalam negri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Ia tidak mau
bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi
pegawai pemerintah, ia menolaknya. Dengan berbekal semangat juang dan tekad
yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk
mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya
dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur
pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah). Dalam
merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis
Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana
pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan
pengetahuan agama kepada para santrinya.
Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan
masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan
berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang
dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. Untuk memantapkan
langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau
organisasi bernama “Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide
pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosialo ekonomi dan
kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat ,
santri, pedagang, dan petani. Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan
bidang perbaikan yng disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah
(perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah
at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang
keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama
(perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan
islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong). Secara
bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat,
khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya,
pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah
kolonial mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID)
untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada
tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh
pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara
pribumi dan Cina).
Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya
terus berjalan. Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah
al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk
ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta.
Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat
merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan.
Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam
pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama.
Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21
Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh
Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia.
Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim
mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada
tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia
mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di
bawah pengawasannya.
Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru
diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim
juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan
wanitanya, Fatimiyah. Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal
keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung
pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan
mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan
April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di
samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha
bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya
di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan
Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan
ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha
menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan
ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam
fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan
Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan
fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat
Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung. Selain aktivitasnya membina
organisasi PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang
pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang
Majalengka.
Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang
didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan
KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI
(Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada
tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin
Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk salah
seorang anggota Badap Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu
Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat
(KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan kawan-kawannya ia
dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai
dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan. Pada tahun 1940, ia
bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper,
di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat
Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan
tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga
menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh
Belanda. (http://pelitatangerang.xtgem.com/index/__xtblog_entry/59383-kh-abdul-halim-majalengka?__xtblog_block_id=1)
2. K.H AHMAD SANUSI
KH Ahmad Sanusi (Sukabumi, Jawa Barat, 1888-Sukabumi, 1950) adalah
tokoh Partai Sarekat Islam (SI) dan pendiri al-Ittihadiat al-Islamiyah.
Ayahnya, Haji Abdurrahman, adalah tokoh masyarakat dan pengasuh pesantren di
desanya. Ahmad Sanusi memperoleh pelajaran agama dari orang tuanya sampai ia
berusia lima belas tahun. Setelah dewasa ia lalu belajar ke beberapa pondok
pesantren di Jawa Barat selama kurang lebih enam tahun. Seusai pelajarannya,
Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya untuk membantu mengajar di pesantren
ayahnya. Tahun 1908 ia menikah dan pergi haji ke Mekah bersama istrinya serta
bermukim di sana beberapa waktu lamanya.
Dalam kesempatan itu ia telah mengenal tulisan para pembaru, seperti
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ia tetap berpegang pada madzhab Syafi’i yang
beraliran Ahlusunnah waljama’ah. Pada tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali mengajar
di pesantren ayahnya selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian ia membangun
pesantren baru sebagai pengembangan dari pesantren ayahnya di kaki gunung
Rumphin, sebelah barat kota Sukabumi. Di tempat ini Ahmad Sanusi berhasil
mengembangkan pengetahuan agamanya secara mandiri, sehingga pesantrennya cepat
berkembang. Santrinya tidak hanya berasal dari Sukabumi, tetapi juga dari luar
daerah dan luar Pulau Jawa. Ahmad Sanusi sebagai tokoh SI aktif dalam usaha
mengusir kolonial Belanda dari tanah air. Akibatnya, ia menjadi tahanan politik
selama tujuh tahun di Batavia. Selama di pengungsian, ia menulis buku dan
membentuk suatu organisasi yang bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun
1931. Setahun kemudian, ia kembali ke Sukabumi, menangani organisasi
al-Ittihadiat al-Islamiyah, dan pada tanggal 5 Februari 1933 mendirikan lembaga
pendidikan Syams al-‘Ulum yang lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh.
Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah al-Hidayah
al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan majalah at-Tabligh al-Islami (Dakwah Islam)
sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (dakwah yang disampaikan
secara lisan). Al-Ittihadiat al-Islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa
Jepang. Namun ia mengadakan konsolidasi dan mengubah nama organisasi tersebut
menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Ahmad Sanusi diangkat menjadi salah seorang
instruktur latihan yang diselenggarakan untuk mengadakan konsolidasi politik
Jepang terhadap umat islam. Pada tahun 1944, ia diangkat oleh Jepang sebagai
wakil residen di Bogor. Secara resmi Ahmad Sanusi mewakili PUI dalam Masyumi.
Sampai menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dia tercatat
sebagai anggota panitia Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPIPKI). Namanya dicoret dari
keanggotaan BPUPKI karena ia dianggap terlalu banyak memihak Islam. Hal ini dilakukannya
dengan tujuan agar kelak Indonesia merdeka menjalankan peraturan yang
berdasarkan syariat Islam. Kemudian Ahmad Sanusi kembali menulis. Tidak kurang
75 buku telah ditulisnya, antara lain kitab Tamsyiah al-Muslimin fi Kalam Rabb
al-Alamin (Perjalanan Muslimin dalam Firman Tuhan Seru Sekalian Alam), dan
Raudah al-Irfan (Taman Ilmu Pengetahuan). Ia juga menulis buku-buku yang
membahas ilmu tauhid dan fikih.
B.
Sejarah Berdirinya PUI
Persatuan Ummat Islam (PUI) lahir pada tahun
1952 sebagai ”anak zaman” dalam mematri persatuan dan kesatuan bangsa,
khususnya persatuan dan kesatuan ummat Islam. Dikatakan sebagai anak zaman
karena pada waktu lahirnya, yaitu pada tanggal 5 April 1952 di Bogor, Jawa
Barat situasi dan kondisi keorganisasian sosial dan masyarakat di Indonesia
saat itu cenderung berpecah-belah. Tetapi PUI lahir justru sebagai hasil fusi
(penggabungan) antara dua organisasi besar, yaitu Perikatan Ummat Islam
(PUI) yang berpusat di Majalengka, pendirinya K.H. Abdul Halim dan Persatuan
Ummat Islam Indonesia (PUII) yang berpusat di Sukabumi, pendirinya K.H.
Ahmad Sanusi. Fusi kedua organisasi tersebut dideklarasikan pada
tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di
Gedung Nasional Kota Bogor.
Perikatan Ummat Islam (PUI) adalah organisasi
yang pada awal didirikannya oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka, bernamaHayatul
Qulub (1912). Perhimpunan Hayatul Qulub mengelola lembaga pendidikan yang
mengintegrasikan pesantren dengan sistim madrasah/sekolah; di mana para santri
selain belajar di surau, pada pagi/siang hari juga belajar di ruang kelas,
duduk di bangku menghadap meja dan papan tulis. Di madrasah para siswa juga
diajarkan pengetahuan umum dan bahasa asing (Belanda dan Inggris). Pada masa
itu sistim pendidikan madrasah seperti itu tidak lazim dilakukan selain oleh
sekolah-sekolah Belanda. Karenanya para ulama dan orang-orang yang tidak
setuju, memfitnahnya sebagai sekolah kafir. Hayatul Qulub tidak
hanya bergerak di bidang pendidikan tetapi juga banyak bergerak di bidang
sosial dan ekonomi untuk membela rakyat dari tekanan kapitalisme Belanda.
Perhimpunan Hayatul Qulub ini tumbuh dan berkembang
melalui proses perjuangan yang penuh tantangan dan rintangan dari pemerintah
kolonial Belanda. Dalam mencapai tujuannya, organisasi ini telah mengalami
beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama. Pada tanggal 16
Mei 1916 perhimpunan Hayatul Qulub berubah menjadi I’anatul Muta’allimin.
Berkat kerja keras dan besarnya perhatian serta dukungan masyarakat, dalam
waktu yang sangat singkat, telah berdiri cabang-cabang I’anatul Muta’allimin di
seluruh Kecamatan dalam Kabupaten Majalengka, dan organisasi ini termasyhur
sebagai satu-satunya pusat pendidikan Islam modern di Majalengka.
Pada bulan Nopember 1916, atas saran dari HOS
Tjokroaminoto teman karib K.H. Abdul Halim, I’anatul Muta’allimin diubah
lagi namanya menjadi Persyarikatan Oelama (PO). Pada tanggal 21 Desember
1917 Persyarikatan Oelama (PO) mendapat pengakuan Badan Hukum dari Pemerintah
Belanda.
Meskipun PO sudah diakui dan disahkan menjadi Badan
Hukum, tetapi pemerintah kolonial Belanda tetap saja mencurigai kegiatan dan
gerak langkah PO karena para pemimpin PO konsisten dengan sikapnya yang non
koperatif serta senantiasa menentang dan memprotes setiap peraturan atau usaha
pemerintah Belanda yang merugikan atau merendahkan umat Islam dan rakyat
Indonesia. Para pemimpin PO baik di kalangan Pengurus Besar maupun
Cabang-Cabangnya, terutama K.H. Abdul Halim selalu diintai oleh PID (polisi
rahasia). Kecurigaan dan kekhawatiran pemerintah Belanda semakin memuncak
setelah beliau ikut serta dalam kegiatan politik bersama Sayarikat Islam (SI)
memimpin aksi massa pemogokan buruh pabrik gula di Kadipaten dan Jatiwangi pada
tahun 1918.
Meskipun tidak sedikit rintangan dan hambatan dari
pemerintah Belanda dan orang-orang yang tidak suka, namun Persyarikatan Oelama
(PO) terus berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1919 Cabang dan
madrasah-madrasah PO sudah bertebaran di berbagai pelosok Majalengka, Cirebon,
Kuningan, Indramayu, Jatibarang, Bandung, Cianjur, sampai ke Tegal (Jawa
Tengah). Untuk memenuhi kebutuhan guru di madrasah-madrasah tersebut maka
didirikanlan Kweekschool (sekolah guru). Para santri dan pelajar
yang sudah tamat dari madrasah melanjutkan ke Kweekschool untuk menjadi guru.
Setelah mendapat penetapan Badan Hukum untuk
seluruh Indonesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 18 Agustus 1937, maka PO
mulai melebarkan sayapnya ke Semarang, Purwokerto, Banyumas, sampai ke Tebing
Tinggi dan Sumatera Selatan. Pada awal masa pendudukan Jepang tahun 1942, semua
partai politik dan organisasi pergerakan dibubarkan oleh penguasa Jepang. Akan
tetapi beberapa bulan kemudian Jepang mengeluarkan maklumat bahwa parpol dan
ormas diizinkan aktif kembali. Federasi MIAI aktif lagi dan diubah namanya
menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti namanya menjadi Perikatan Oemmat
Islam (POI) yang kemudian dengan perubahan ejaan bahasa Indonesia sistem
Soewandi menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
Sementara itu di Sukabumi juga telah berdiri
organisasi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh
K.H. Ahmad Sanusi. Seperti halnya Perikatan Ummat Islam (PUI), sejarah
perjuangan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) juga melalui proses
perkembangan dan pergantian nama. Pada awal didirikannya, organisasi ini
bernama Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Pada tahun 1942 AII
berganti nama menjadi Persatuan Oemat Islam Indonesia (POII), dan pada tahun
1947 disesuaikan dengan ejaan Soewandi menjadi Persatuan Ummat Islam
Indonesia (PUII).
Khittah perjuangan PUII pimpinan K.H. Ahmad Sanusi
di Sukabumi secara pripsipil sama dengan khittah perjuangan PUI pimpinan K.H.
Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan missi serta cita-cita kedua
organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk melebur
organisasi mereka menjadi satu organisasi. Setelah melalui proses yang cukup
panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua belah
pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasiPerikatan Ummat
Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan
Ummat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan tanggal 9
Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Semasa hidupnya, baik K.H. Abdul Halim maupun K.H.
Ahmad Sanusi terus-menerus berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat
rakyat. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, keduanya aktif dalam
pasukan Pembela Tanah Air (PETA) serta menjadi anggota Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berkat
jasa-jasanya itu maka pada tanggal 12 Agustus 1992 berdasarkan Kepres No.
048/PK/1992 kedua orang pendiri PUI tersebut yaitu K.H. Abdul Halim di
anugerahi gelar sebagai Pahlawan nasional oleh Presiden RI Susilo bambang
Yudhoyono di Istana Negara pada tanggal 10 November 2008.Sementara K.H.
Ahmad Sanusi dianugerahi Bintang Maha Putra Utama oleh Presiden Republik
Indonesia. Persatuan Ummat Islam (PUI)
memiliki dua buah Badan Otonom yaitu Wanita PUI dan Pemuda PUI. Kedua Badan Otonom tersebut adalah
lembaga-lembaga kaderisasi untuk menyiapkan kepemimpinan PUI di masa depan.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Persatuan Ummat Islam adalah nama baru bagi dua
organisasi massa Islam Madjlisoel ‘Ilmi dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah yang
telah berdiri sejak masa pemerintah Hindia Belanda. Kedua organisasi itu
melakukan fusi, karena terdapat kesamaan dalam pemahaman keagamaan, pemikiran,
dan gerakan sebagai organisasi kaum muslim modernis. Kedua, dalam
perkembangannya Persatuan Ummat Islam telah menunjukkan peranannya di
masyarakat bukan hanya dalam bidang agama, tetapi dalam bidang pendidikan,
ekonomi, dan politik. Terutama dalam bidang politik, Persatuan Ummat Islam
pernah menempatkan para kadernya sebagai anggota Parlemen, Duta Besar, Menteri,
dan Wakil Perdana Menteri. Namun, seiring bergulirnya arus kuasa
Persatuan Ummat Islam sebagai pengusung “Islam politik” kemudian berada dalam
bayang-bayang kecurigaan pemerintah dalam jangka waktu yang lama meskipun
mereka telah melakukan upaya politik kompromi. Ketiga, dengan bergulirnya
arus kuasa pula, Persatuan Ummat Islam kemudian mengalami dinamika yang masif.
Mereka kembali memperoleh peran politiknya
setelah para kadernya terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi,
dan anggota DPR-RI. Peran politik Persatuan Ummat Islam bahkan “bangkit”
setelah menempatkan kadernya Ahmad Heryawan terpilih sebagai Gubernur Jawa
Barat. Hasil penelitian ini kiranya dapat mempunyai fungsi praktis. Pertumbuhan
dan perkembangan organisasi massa Persatuan Ummat Islam dapat dijadikan bahan
pembanding bagi organisasi-organisasi lain yang berkembang saat ini.
Generalisasi terbatas yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini juga dapat
dijadikan model untuk memahami organisasi massa Islam lainnya di Indonesia.
B.
Saran
Demikian
yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena
terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang
budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi
sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan
berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.