Monday, 5 January 2015

Makalah Sejarah Berdirinya PUI


Oleh: Didim Dimyati

BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar belakang
Proses kelahiran, dan perkembangan Persatuan Ummat Islam dari  1911-2011 sebagai organisasi massa Islam merupakan suatu hal yang sangat kompleks. Untuk mendapatkan eksplanasi dari realitas yang kompleks tersebut digunakan pendekatan multi-dimensional. Sebelum melakukan fusi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI), organisasi yang dipimpin Abdoel Halim dan Ahmad Sanoesi di satu pihak ada yang menyebutnya  sebagai organisasi tradisionalis. Sementara  di pihak lain ada yang menyebutnya sebagai organisasi modernis. Untuk menjelaskan hal tersebut dapat digunakan konsep organisasi  Islam modern dari Deliar Noer (1983: 181-184).
Dalam perjalanannya dari 1952-1991, Persatuan Ummat Islam mengalami perkembangan dalam bentuk konflik atau disintegrasi, seperti: bagaimana dan mengapa mereka memilih keluar dari anggota istimewa partai Masyumi atau  mengapa terjadi   pengunduran pelaksanaan  Muktamar PUI ke-4 dan ke-5?  
Rounded Rectangle: 1Untuk menjelaskan mengapa hal tersebut terjadi diperlukan teori konflik dari Lewis A. Coser. Teori ini relevan untuk menjelaskan berbagai fenomena konflik seperti perselisihan, perang, revolusi, kompetisi, dan sebagainya, baik yang menyangkut pertentangan kolektif maupun individual (Turner, 1978: 183-184). Lewis A. Coser berpendapat bahwa intensitas konflik ditentukan oleh kondisi-kondisi  tertentu. Semakin  disadari  kondisi-kondisi penyebab  konflik  dan  keterlibatan   emosional pihak-pihak yang  terlibat    konflik  semakin   tinggi  intensitas    konflik. Kehebatan  konflik  ditentukan   oleh   realistis dan tidaknya tujuan  yang hendak dicapai;   Semakin realistis tujuan yang hendak   dicapai   oleh   pihak-pihak   yang terlibat, semakin rendah tingkat kehebatan konflik, demikian pula sebaliknya. Mengenai lamanya konflik, menurut Lewis A. Coser, ditentukan oleh tujuannya; semakin terbatas tujuan yang hendak  dicapai, semakin singkat berlangsungnya konflik,  demikian pula sebaliknya (Turner, 1978: 164-172).
Perkembangan Persatuan Ummat Islam hingga memasuki era reformasi masih berada dalam posisi “diam” sebagai dying organization. Baru pada Pemilu 1999, 2004, dan Pemilu 2009, sejumlah kader dan jama’ah Persatuan Ummat Islam mulai banyak yang masuk menjadi anggota partai politik dan dengan tanpa ragu menyebut diri sebagai jama’ah atau kader Persatuan Ummat Islam.  Persatuan Ummat Islam semakin mendapatkan pengakuan di masyarakat, khususnya Jawa Barat setelah diselenggarakan Muktamar PUI ke-11 (2004). Pada muktamar tersebut Persatuan Ummat Islam mulai melakukan perubahan, perbaikan, dan penyesuaian organisasi. AD/ART, tata organisasi, dan sejumlah atribut Persatuan Ummat Islam termasuk bendera dan lambang disempurnakan. Hal ini pun dapat dijelaskan melalui teori konflik. Menurut Lewis A. Coser, penyelesaian konflik dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu melalui kekerasan bersenjata atau melalui kompromi (integrasi). Penyelesaian politik yang efektif biasanya melalui cara yang kedua. Dalam hal ini Persatuan Ummat Islam memilih jalan penyelesaian konflik dengan cara kompromi, sehingga tujuan akhirnya adalah terwujudnya integrasi. 
B.            Rumusan Masalah
1.      Siapa Pendiri PUI ?
2.      Bagaimana Sejarah Singkat PUI?

C.           Tujuan Penulisan
1.      Untuk Mengetahui Para Pendiri PUI
2.      Untuk Mengetahui Sejarah Singkat PUI

D.           Metode Penulisan
Metode yang digunakan adalah metode deskriktif, dimana permasalahan bersifat apa adanya serta diiringi dengan interpretasi rasional yang seimbang. Adapun sumber informasi diperoleh melalui studi kepustakaan.




BAB II
PEMBAHASAN

A.           Biografi Para Pendiri PUI
1.      K.H ABDUL HALIM
KH Abdul Halim (Desa Cibolerang, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, 4 Syawal 1304/26 Juni 1887-Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, 1381 H/1962 M). Ulama besar dan tokoh pembaharuan di Indonesia, khususnya di bidang pendidikan dan kemasyarakatan, yang memiliki corak khas di masanya. Nama aslinya adalah Otong Syatori. Kemudian setelah menunaikan ibadah haji ia berganti nama menjadi Abdul Halim. Ayahnya bernama KH. Muhammad Iskandar, penghulu Kewedanan Jatiwangi, dan ibunya Hajjah Siti Mutmainah binti Imam Safari. Abdul Halim adalah anak terakhir dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Siti Murbiyah, putri KH. Mohammad Ilyas, pejabat Hoofd Penghulu Landraad Majalengka (sebanding dengan kepala Kandepag Kapubaten sekarang).
Rounded Rectangle: 3Ia mendapat pendidikan agama sejak kecil. Pada usia 10 tahun ia sudah belajar membaca al Qur’an, kemudian menjadi santri pada beberapa orang kiaki di berbagai daerah Jawa Barat dan Jawa Tengah sampai mencapai usia 22 tahun. Kiai yang pertama kali didatangi ialah KH. Anwar di Pondok Pesantren Ranji Wetan, Majalengka , kemudian berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Ia menjalani setiap pesantren antara 1 sampai dengan 3 tahun. Tercatat beberapa kiai yang menjadi gurunya, antara lain KH. Abdullah di Pesantren Lontangjaya, desa Penjalin, Kecamatan Leuwimunding, Majalengka; KH. Sijak di Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon; KH. Ahmad Sobari di Pesantren Ciwedas, Cilimus, Kuningan; KH. Agus di Pesantren Kedungwangi, Pekalongan, Jawa Tengah; kemudian kembali lagi ke Pesantren Ciwedus. Di sela-sela kehidupan pesantren, Abdul Halim menyempatkan diri berdagang, seperti berjualan batik, minyak wangi, dan kitab-kitab pelajaran agama. Pengalaman dagangnya ini mempengaruhi langkah-langkahnya kelak dalam upaya mebaharui sistem ekonomi masyarakat pribumi. Pada usia 22 tahun Abdul Halim berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu agama. Ia bermukim di sana selama 3 tahun. Pada kesempatan ini ia mengenal dan mepelajari tulisan-tulisan Sayid Jamaluddin al-Afgani dan Syeikh Muhammad Abduh. Untuk mendalami pengetahuan agama di sana, ia belajar kepada Syeikh Ahmad Khatib, imam dan kahtib Masjidil haram, dan Syeikh Ahmad Khayyat, ketika di sana pula ia bertemu dengan KH. Mas Mansyur dari Surabaya (tokoh Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (tokoh Nahdatul Ulama). Pada tahun 1328 H/1911 M ia kembali ke Indonesia.
Di samping menguasai bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda dari Van Houven (salah seorang dari Zending Kristen di Cideres) dan bahasa Cina dari orang Cina yang bermukim di Mekah. Dengan pengalaman pendidikan dan tukar pikirannya dengan para tokoh besar, baik di luar maupun dalam negri, Abdul Halim semakin mantap dan teguh dalam prinsip. Ia tidak mau bekerja sama dengan pihak kolonial. Ketika oleh mertuanya ditawari menjadi pegawai pemerintah, ia menolaknya. Dengan berbekal semangat juang dan tekad yang kuat, sekembalinya dari Mekah, ia mulai melakukan perbaikan untuk mengangkat derajat masyarakat, sesuai dengan hasil pengamatan dan konsultasinya dengan beberapa tokoh di Jawa. Usaha perbaikan ini ditempuhnya melalui jalur pendidikan (at-tarbiyah) dan penataan ekonomi (al-iqtisadiyah). Dalam merealisasi cita-citanya untuk pertama kalinya Abdul Halim mendirikan Majlis Ilmu (1911) sebagai tempat pendidikan agama dalam bentuk yang sangat sederhana pada sebuah surau yang terbuat dari bambu. Pada majlis ini ia meberikan pengetahuan agama kepada para santrinya.
Dengan bantuan mertuanya, KH. Muhammad Ilyas, serta dukungan masyarakat Abdul Halim dapat terus mengembangkan idenya. Pada perkembangan berikutnya, di atas tanah mertuanya ia dapat membangun tempat pendidikan yang dilengkapi dengan asrama sebagai tempat tinggal para santri. Untuk memantapkan langkah-langkahnya pada tahun 1912 ia mendirikan suatu perkumpulan atau organisasi bernama “Hayatul Qulub. Melalui lembaga ini ia mengembangkan ide pembaruan pendidikan, juga aktif dalam bidang sosialo ekonomi dan kemasyarakatan. Anggota perkumpulan ini terdiri atas para tokoh masyarakat , santri, pedagang, dan petani. Langkah-langkah perbaikannya meliputi delapan bidang perbaikan yng disebut dengan Islah as-Samaniyah, yaitu islah al-aqidah (perbaikan bidang aqidah), islah al-ibadah (perbaikan bidang ibadah), islah at-tarbiyah (perbaikan bidang pendidikan), islah al-ailah (perbaikan bidang keluarga), islah al-adah (perbaikan bidang kebiasaan), islah al-mujtama (perbaikan masyarakat), islah al-iqtisad (perbaikan bidang perekonomian), dan islah al-ummah (perbaikan bidang hubungan umat dan tolong-menolong). Secara bertahap, organisasi yang dipimpinnya dapat memperbaiki keadaan masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Melihat kemajuan dan hasil yang telah dicapainya, pemerintah kolonial Belanda mulai menaruh curiga. Secara diam-diam pemerintah kolonial mengutus polisi rahasia (yang disebut Politiek Inlichtingn Dienst/PID) untuk mengawasi pergerakan Abdul Halim dan setiap orang yang dicurigai. Pada tahun 1915 organisasi yang dipimpinnya ini dibubarkan sebab dinilai oleh pemerintah sebagai penyebab terjadinya beberapa kerusuhan (terutama antara pribumi dan Cina).
Sejak itu Hayatul Qulub secara resmi dibubarkan namun kegiatannya terus berjalan. Pada tanggal 16 Mei 1916 Abdul Halim mendirikan Jam’iyah I’anah al-Muta’alimin sebagai upaya untuk terus mengembangkan bidang pendidikan. Untuk ini ia menjalin hubungan dengan Jam’iyat Khair dan al-Irsyad di Jakarta. Melihat sambutan yang cukup tinggi, yang dinilai oleh pihak kolonial dapat merongrong pemerintahan, maka pada tahun 1917 organisasi ini pun dibubarkan. Dengan dorongan dari sahabatnya, HOS. Tjokroaminoto (Presiden Sarekat Islam pada waktu itu), pada tahun itu juga ia mendirikan Persyarikatan Ulama. Organisasi ini diakui oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tanggal 21 Desember 1917. Pada tahun 1924 daerah operasi organisasi ini sampai ke seluruh Jawa dan Madura, dan pada tahun 1937 terus disebarkan ke seluruh Indonesia. Untuk mendukung organisasi ini, terutama pada sektor keuangan/dana, Abdul Halim mengembangkan usaha bidang pertanian dengan membeli tanah seluas 2,5 ha pada tahun 1927, kemudian mendirikan percetakan pada tahun 1930. Pada tahun 1939 ia mendirikan perusahaan tenun dan beberapa perusahaan lainnya, yang langsung di bawah pengawasannya.
Untuk mendukung lajunya perusahaan di atas, kepada para guru diwajibkan menanam saham sesuai dengan kemampuan masing-masing. Abdul Halim juga mendirikan sebuah yayasan yatim piatu yang dikelola oleh persyarikatan wanitanya, Fatimiyah. Abdul Halim juga memandang perlu memberikan bekal keterampilan kepada anak didik agar kelak hidup mandiri tanpa harus tergantung pada orang lain atau menjadi pegawai pemerintah. Ide ini direalisasinya dengan mendirikan sekolah /pesantren kerja bersama bernama Santi Asromo pada bulan April 1942, yang bertempat di Desa Pasirayu, Kecamatan Sukahaji, Majalengka. Di samping mengembangkan bidang pendidikan, Abdul Halim juga memperluas usaha bidang dakwah. Ia selalu menjalin hubungan dengan beberapa organisasi lainnya di Indonesia, seperti dengan Muhammadiyah di Yogyakarta, Sarekat Islam, dan Ittihad al-Islamiyah (AII) di Sukabumi. Inti dakwahnya adalah mengukuhkan ukhuwah Islamiah (kerukunan Islam) dengan penuh cinta kasih, sebagai usaha menampakkan syiar Islam, guna mengusir penjajahan. Dalam bidang aqidah dan ibadah amaliah Abdul Halim menganut paham ahlussunnah waljama’ah, yang dalam fikihnya mengikuti paham Syafi’iyah. Pada tahun 1942 ia mengubah Persyarikatan Ulama menjadi Perikatan Umat Islam yang (kemudian) pada tahun 1952 melakukan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII), menjadi “Persatuan Umat Islam” (PUI), yang berkedudukan di Bandung. Selain aktivitasnya membina organisasi PUI, ia aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 ia menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka.
Pada tahun 1928 ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), ia menjadi salah seorang pengurusnya. Ia juga termasuk salah seorang anggota Badap Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. Di kalangan kawan-kawannya ia dikenal sebagai orang yang sederhana, pengasih, dan mengutamakan jalan damai dalam menyelesaikan persoalan daripada melalui kekerasan. Pada tahun 1940, ia bersama KH. A. Ambari menghadap Adviseur Voor Indische Zaken, Dr. GF. Pijper, di Jakarta untuk mengajukan beberapa tuntutan yang menyangkut kepentingan umat Islam. Ketika terjadi agresi Belanda pada tahun 1947, ia bersama rakyat dan tentara mundur ke pedalaman untuk menyusun strategi melawan Belanda. Ia juga menentang keras berdirinya negara Pasundan yang didirikan pada tahun 1948 oleh Belanda. (http://pelitatangerang.xtgem.com/index/__xtblog_entry/59383-kh-abdul-halim-majalengka?__xtblog_block_id=1)
2.      K.H AHMAD SANUSI
KH Ahmad Sanusi (Sukabumi, Jawa Barat, 1888-Sukabumi, 1950) adalah tokoh Partai Sarekat Islam (SI) dan pendiri al-Ittihadiat al-Islamiyah. Ayahnya, Haji Abdurrahman, adalah tokoh masyarakat dan pengasuh pesantren di desanya. Ahmad Sanusi memperoleh pelajaran agama dari orang tuanya sampai ia berusia lima belas tahun. Setelah dewasa ia lalu belajar ke beberapa pondok pesantren di Jawa Barat selama kurang lebih enam tahun. Seusai pelajarannya, Ahmad Sanusi kembali ke kampung halamannya untuk membantu mengajar di pesantren ayahnya. Tahun 1908 ia menikah dan pergi haji ke Mekah bersama istrinya serta bermukim di sana beberapa waktu lamanya.
Dalam kesempatan itu ia telah mengenal tulisan para pembaru, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Ia tetap berpegang pada madzhab Syafi’i yang beraliran Ahlusunnah waljama’ah. Pada tahun 1915 Ahmad Sanusi kembali mengajar di pesantren ayahnya selama kurang lebih tiga tahun. Kemudian ia membangun pesantren baru sebagai pengembangan dari pesantren ayahnya di kaki gunung Rumphin, sebelah barat kota Sukabumi. Di tempat ini Ahmad Sanusi berhasil mengembangkan pengetahuan agamanya secara mandiri, sehingga pesantrennya cepat berkembang. Santrinya tidak hanya berasal dari Sukabumi, tetapi juga dari luar daerah dan luar Pulau Jawa. Ahmad Sanusi sebagai tokoh SI aktif dalam usaha mengusir kolonial Belanda dari tanah air. Akibatnya, ia menjadi tahanan politik selama tujuh tahun di Batavia. Selama di pengungsian, ia menulis buku dan membentuk suatu organisasi yang bernama al-Ittihadiat al-Islamiyah pada tahun 1931. Setahun kemudian, ia kembali ke Sukabumi, menangani organisasi al-Ittihadiat al-Islamiyah, dan pada tanggal 5 Februari 1933 mendirikan lembaga pendidikan Syams al-‘Ulum yang lebih dikenal dengan Pesantren Gunung Puyuh.
Selain itu Ahmad Sanusi juga menerbitkan majalah al-Hidayah al-Islamiyah (Petunjuk Islam) dan majalah at-Tabligh al-Islami (Dakwah Islam) sebagai bahan bacaan dalam rangka da’wah bi al-lisan (dakwah yang disampaikan secara lisan). Al-Ittihadiat al-Islamiyah akhirnya dibubarkan oleh penguasa Jepang. Namun ia mengadakan konsolidasi dan mengubah nama organisasi tersebut menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Ahmad Sanusi diangkat menjadi salah seorang instruktur latihan yang diselenggarakan untuk mengadakan konsolidasi politik Jepang terhadap umat islam. Pada tahun 1944, ia diangkat oleh Jepang sebagai wakil residen di Bogor. Secara resmi Ahmad Sanusi mewakili PUI dalam Masyumi.
Sampai menjelang kemerdekaan republik Indonesia, dia tercatat sebagai anggota panitia Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPIPKI). Namanya dicoret dari keanggotaan BPUPKI karena ia dianggap terlalu banyak memihak Islam. Hal ini dilakukannya dengan tujuan agar kelak Indonesia merdeka menjalankan peraturan yang berdasarkan syariat Islam. Kemudian Ahmad Sanusi kembali menulis. Tidak kurang 75 buku telah ditulisnya, antara lain kitab Tamsyiah al-Muslimin fi Kalam Rabb al-Alamin (Perjalanan Muslimin dalam Firman Tuhan Seru Sekalian Alam), dan Raudah al-Irfan (Taman Ilmu Pengetahuan). Ia juga menulis buku-buku yang membahas ilmu tauhid dan fikih.
B.            Sejarah Berdirinya PUI
Persatuan Ummat Islam (PUI) lahir pada tahun 1952 sebagai ”anak zaman” dalam mematri persatuan dan kesatuan bangsa, khususnya persatuan dan kesatuan ummat Islam. Dikatakan sebagai anak zaman karena pada waktu lahirnya, yaitu pada tanggal 5 April 1952 di Bogor, Jawa Barat situasi dan kondisi keorganisasian sosial dan masyarakat di Indonesia saat itu cenderung berpecah-belah. Tetapi PUI lahir justru sebagai hasil fusi (penggabungan) antara dua organisasi besar, yaitu Perikatan Ummat Islam (PUI) yang berpusat di Majalengka, pendirinya K.H. Abdul Halim dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang berpusat di Sukabumi, pendirinya K.H. Ahmad SanusiFusi kedua organisasi tersebut dideklarasikan pada tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Perikatan Ummat Islam (PUI) adalah organisasi yang pada awal didirikannya oleh K.H. Abdul Halim di Majalengka, bernamaHayatul Qulub (1912). Perhimpunan Hayatul Qulub mengelola lembaga pendidikan yang mengintegrasikan pesantren dengan sistim madrasah/sekolah; di mana para santri selain belajar di surau, pada pagi/siang hari juga belajar di ruang kelas, duduk di bangku menghadap meja dan papan tulis. Di madrasah para siswa juga diajarkan pengetahuan umum dan bahasa asing (Belanda dan Inggris). Pada masa itu sistim pendidikan madrasah seperti itu tidak lazim dilakukan selain oleh sekolah-sekolah Belanda. Karenanya para ulama dan orang-orang yang tidak setuju, memfitnahnya sebagai sekolah kafir.  Hayatul Qulub tidak hanya bergerak di bidang pendidikan tetapi juga banyak bergerak di bidang sosial dan ekonomi untuk membela rakyat dari tekanan kapitalisme Belanda.
Perhimpunan Hayatul Qulub ini tumbuh dan berkembang melalui proses perjuangan yang penuh tantangan dan rintangan dari pemerintah kolonial Belanda. Dalam mencapai tujuannya, organisasi ini telah mengalami beberapa kali penyempurnaan dan pergantian nama. Pada tanggal 16 Mei 1916 perhimpunan Hayatul Qulub berubah menjadi I’anatul Muta’allimin. Berkat kerja keras dan besarnya perhatian serta dukungan masyarakat, dalam waktu yang sangat singkat, telah berdiri cabang-cabang I’anatul Muta’allimin di seluruh Kecamatan dalam Kabupaten Majalengka, dan organisasi ini termasyhur sebagai satu-satunya pusat pendidikan Islam modern di Majalengka.
Pada bulan Nopember 1916, atas saran dari HOS Tjokroaminoto teman karib K.H. Abdul Halim, I’anatul Muta’allimin diubah lagi namanya menjadi Persyarikatan Oelama (PO). Pada tanggal 21 Desember 1917 Persyarikatan Oelama (PO) mendapat pengakuan Badan Hukum dari Pemerintah Belanda.
Meskipun PO sudah diakui dan disahkan menjadi Badan Hukum, tetapi pemerintah kolonial Belanda tetap saja mencurigai kegiatan dan gerak langkah PO karena para pemimpin PO konsisten dengan sikapnya yang non koperatif serta senantiasa menentang dan memprotes setiap peraturan atau usaha pemerintah Belanda yang merugikan atau merendahkan umat Islam dan rakyat Indonesia. Para pemimpin PO baik di kalangan Pengurus Besar maupun Cabang-Cabangnya, terutama K.H. Abdul Halim selalu diintai oleh PID (polisi rahasia). Kecurigaan dan kekhawatiran pemerintah Belanda semakin memuncak setelah beliau ikut serta dalam kegiatan politik bersama Sayarikat Islam (SI) memimpin aksi massa pemogokan buruh pabrik gula di Kadipaten dan Jatiwangi pada tahun 1918.
Meskipun tidak sedikit rintangan dan hambatan dari pemerintah Belanda dan orang-orang yang tidak suka, namun Persyarikatan Oelama (PO) terus berkembang dengan sangat pesat. Tahun 1919 Cabang dan madrasah-madrasah PO sudah bertebaran di berbagai pelosok Majalengka, Cirebon, Kuningan, Indramayu, Jatibarang, Bandung, Cianjur, sampai ke Tegal (Jawa Tengah). Untuk memenuhi kebutuhan guru di madrasah-madrasah tersebut maka didirikanlan Kweekschool (sekolah guru). Para santri  dan pelajar yang sudah tamat dari madrasah melanjutkan ke Kweekschool untuk menjadi guru.
Setelah mendapat penetapan Badan Hukum untuk seluruh Indonesia dari pemerintah Belanda pada tanggal 18 Agustus 1937, maka PO mulai melebarkan sayapnya ke Semarang, Purwokerto, Banyumas, sampai ke Tebing Tinggi dan Sumatera Selatan. Pada awal masa pendudukan Jepang tahun 1942, semua partai politik dan organisasi pergerakan dibubarkan oleh penguasa Jepang. Akan tetapi beberapa bulan kemudian Jepang mengeluarkan maklumat bahwa parpol dan ormas diizinkan aktif kembali. Federasi MIAI aktif lagi dan diubah namanya menjadi Majlis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sedangkan Persyarikatan Oelama (PO) diganti namanya menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) yang kemudian dengan perubahan ejaan bahasa Indonesia sistem Soewandi menjadi Perikatan Ummat Islam (PUI).
Sementara itu di Sukabumi juga telah berdiri organisasi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) yang didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi. Seperti halnya Perikatan Ummat Islam (PUI), sejarah perjuangan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) juga melalui proses perkembangan dan pergantian nama. Pada awal didirikannya, organisasi ini bernama Al-Ittihadiyatul Islamiyah (AII). Pada tahun 1942 AII berganti nama menjadi Persatuan Oemat Islam Indonesia (POII), dan pada tahun 1947 disesuaikan dengan ejaan Soewandi menjadi Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII).
Khittah perjuangan PUII pimpinan K.H. Ahmad Sanusi di Sukabumi secara pripsipil sama dengan khittah perjuangan PUI pimpinan K.H. Abdul Halim di Majalengka. Kesamaan visi dan missi serta cita-cita kedua organisasi tersebut akhirnya mendorong kedua belah pihak untuk melebur organisasi mereka menjadi satu organisasi. Setelah melalui proses yang cukup panjang serta beberapa kali pertemuan dan perundingan, akhirnya kedua belah pihak sepakat untuk mendeklarasikan fusi (peleburan) organisasiPerikatan Ummat Islam (PUI) dan Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI) pada tanggal 5 April 1952 M bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1371 H bertempat di Gedung Nasional Kota Bogor.
Semasa hidupnya, baik K.H. Abdul Halim maupun K.H. Ahmad Sanusi terus-menerus berjuang untuk mengangkat harkat dan martabat rakyat. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia, keduanya aktif dalam pasukan Pembela Tanah Air (PETA) serta menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Berkat jasa-jasanya itu maka pada tanggal 12 Agustus 1992 berdasarkan Kepres No. 048/PK/1992 kedua orang pendiri PUI tersebut yaitu K.H. Abdul Halim di anugerahi gelar sebagai Pahlawan nasional oleh Presiden RI Susilo bambang Yudhoyono di Istana Negara pada tanggal 10 November 2008.Sementara K.H. Ahmad Sanusi dianugerahi Bintang Maha Putra Utama oleh Presiden Republik Indonesia. Persatuan Ummat Islam (PUI) memiliki dua buah Badan Otonom yaitu Wanita PUI dan Pemuda PUI. Kedua Badan Otonom tersebut adalah lembaga-lembaga kaderisasi untuk menyiapkan kepemimpinan PUI di masa depan.




BAB III
PENUTUP

A.           Simpulan
Persatuan Ummat Islam adalah nama baru bagi dua organisasi massa Islam Madjlisoel ‘Ilmi dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah yang telah berdiri sejak masa pemerintah Hindia Belanda. Kedua organisasi itu melakukan fusi, karena terdapat kesamaan dalam pemahaman keagamaan, pemikiran, dan gerakan sebagai organisasi kaum muslim modernis. Kedua, dalam perkembangannya Persatuan Ummat Islam telah menunjukkan peranannya di masyarakat bukan hanya dalam bidang agama, tetapi dalam bidang pendidikan, ekonomi, dan politik. Terutama dalam bidang politik, Persatuan Ummat Islam pernah menempatkan para kadernya sebagai anggota Parlemen, Duta Besar, Menteri, dan Wakil Perdana Menteri.  Namun, seiring bergulirnya arus kuasa Persatuan Ummat Islam sebagai pengusung “Islam politik” kemudian berada dalam bayang-bayang kecurigaan pemerintah dalam jangka  waktu yang lama meskipun mereka  telah melakukan upaya politik kompromi. Ketiga, dengan bergulirnya arus kuasa pula, Persatuan Ummat Islam kemudian mengalami dinamika yang masif.
Mereka kembali memperoleh peran politiknya setelah para kadernya terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten/Kota, Provinsi, dan anggota DPR-RI. Peran politik Persatuan Ummat Islam bahkan “bangkit” setelah menempatkan kadernya Ahmad Heryawan terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat. Hasil penelitian ini kiranya dapat mempunyai fungsi praktis. Pertumbuhan dan perkembangan organisasi massa Persatuan Ummat Islam dapat dijadikan bahan pembanding bagi organisasi-organisasi lain yang berkembang saat ini. Generalisasi terbatas yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini juga dapat dijadikan model untuk memahami organisasi massa Islam lainnya di Indonesia. 
B.            Saran


Rounded Rectangle: 11Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dusi memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.

1 comment: