Edi Kusnadi*
Kesadaran ini ialah hal mendasar yang harus selalu dijaga oleh para pembelajar.
Seorang pembelajar semestinya tidak akan seperti Qais si majnun (gila)
dalam roman Arab termahsyur "Laila Majnun" yang memilih
untuk gila karena cintanya pada Laila yang tak pernah sampai. Ia memilih untuk
tidak sadar bahwa waktu terus mengalir sekalipun keadaan tidak berubah;
cintanya kandas. Andai Qais sadar bahwa waktu terus mengalir dan akan
dimintaipertanggungjawabannya. Andai Qais sadar bahwa kemarin tidak sama dengan
hari ini.
Mari kita berkaca pada teladan terbaik kita saat perang Uhud. Tujuh puluh
sahabat syahid, Rasulullah terluka, para kafiirin qurais malamnya sudah
berpesta. Di Uhud kemarin Kaum Muslimin boleh kalah, tapi kesadaran akan Iman
menjadi panglimanya, membangkitkan nyali dan semangat para sahabat. Karena
kemarin dan hari berbeda, karena kemarin hari di mana takdir Allah telah
terjadi dan hari ini takdir menunggu untuk dipilih. Karena setiap unit waktu
amal kita ditakar. Para sahabat mengerti betul akan hal ini. Maka para sahabat
dengan segala luka kembali berdiri, tegak menatap, mengejar lagi Quraisy yang
sedang dimabuk pesta kemenangan. Mereka pun terbirit-birit, lari tunggang
langgang. Satu sama skor akhir di Uhud. Begitulah kesadaran akan nilai waktu
bagi para pembelajar sejati yang menjadikan mereka begitu progresif.
Mungkin salah ini satunya karakteristik progresif. Yang Pertama, pembelajar
sangat menghargai proses. Ada seorang pemecah batu yang berhasil memecahkan
batunya di pukulan ke seratus. Maka pembelajar tidak akan mengatakan bahwa 99
pukulan pertama tidak berguna. Karena tidak akan ada pukulan ke seratus tanpa
pukulan ke satu hingga ke-99. Karena pukulan ke satu beda dengan pukulan kedua.
Setiap pukulan, walau batu itu tidak pecah, ialah proses. Dan mereka tidak
peduli bahwa batu akan pecah di pukulan ke seratus. Mereka hanya tahu bahwa
ikhtiar harus dilakukan dan tidak akan ada yang sia-sia dalam setiap peluh yang
tertetes dan tenaga yang terbuang. Semuanya adalah pembelajaran. Ini yang
begitu bernilai serta mereka nikmati. Para pembelajar juga akan memaknai kisah
Thomas Alva Edison yang ini: "Untuk menemukan cara membuat bola lampu yang
benar, harus tahu dulu bagaimana membuat 1000 bola lampu yang salah." Para
pembelajar sangat menghargai proses sehingga mereka bisa progresif.
Kedua, pembelajar selalu bersegera dalam kebaikan. Tidak ada kata menunda bagi
mereka. Karena mereka memahami benar bagaimana Allah SWT menyuruh kita bersikap
terhadap kebaikan, jihad, dan amal-amal yang akan membawa kepada keridhaanNya.
Allah SWT menggunakan kata saari’uu yang artinya bersegera, saabiqu
yang artinya berlomba-lomba, serta infiruu yang artinya berangkat
tetapi asal katanya berarti "anak panah yang terlepas dari busurnya”.
Sikap ini tercermin dari perkataan yang terkenal dari seorang sahabat Rasul
dalam perang Uhud, "Ku cium bau surga di belakang bukit Uhud sana, terlalu
lama bagiku kalau sempat menghabiskan kurma ini." Segera ia pun berangkat
menyongsong seruan Allah dan Rasul-Nya lalu syahid di sana. Bersegera,
bergegas, tidak menunda adalah kunci progresivitas.
Hukum besi sejarah telah mengajarkan betapa banyak negeri dan peradaban yang
dahulu jaya dan berkuasa, kini hanya tersisa namanya di buku sejarah maupun
artefak-artefaknya di museum. Dan sebaliknya negeri-negeri yang dulu tidak
dikenal kini muncul ke percaturan dunia. Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah"
menyebutnya siklus sejarah. Ya, kebangkitan diawali oleh orang-orang yang
progresif. Dinikmati oleh orang-orang yang menyukai kesempurnaan. Lalu
peradaban diakhiri orang-orang yang terlena dan terlelap. Berhenti belajar,
berhenti berkarya, berhenti berubah. Oleh karena itu Arnold Toynbee mengatakan,
"Civilizations die from suicide, not by murder."
Progresif adalah karakter yang paling terlihat dari seorang pembelajar dalam
rangka mencapai "kesempurnaan dirinya" untuk melaksanakan peran dan
tujuannya sebagai seorang manusia. Progresivitas ini dibangun di atas tiga
pilar; menghargai waktu, menyukai proses, dan bersegera dalam kebaikan.
Sebetulnya progresivitas ini sejak 14 abad yang lalu sudah didefinisikan dengan
baik oleh sahabat yang paling terkenal kecerdasannya, Ali karamallahu wajhah;
"Barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia beruntung,
Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin maka ia merugi, dan barang
siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin maka ia celaka."
No comments:
Post a Comment