ABSTRAK
Diakui atau
tidak, Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam
perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak
memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, karena itu tak
heran bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah
mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan
Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya
Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Karena banyak
hal yang belum tereksplorasi dari pendidikan pondok pesantren tradisonal dalam
persepktif pendidikan islam indonesia, maka penelitian ini dilakukan. Secara
spesifik penelitian ini bertujuan mendiskripsikan Pendidikan Pondok Pesantren
Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia, mendiskripsikan visi
dan misi pendidikan pondok pesantren tardisional, mendiskripsikan kurikulum
pendidikan pondok pesantren tradisional, dan mendiskripsikan managemen
pendidikan pondok pesantren tradisional
Hasil kajian ini selain sebagai persyaratan memperoleh
gelar sarjana pendidikan Islam (SPdI) di STAI Sukabumi, juga diharapkan
bermafaat bagi pihak pihak terkait sebagai bahan komparasi, evaluasi dan
pengembangan lebih lanjut, sebagai upaya inovasi ilmiyah untuk memperbanyak
kazanah keilmuan juga sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan
kebijakan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan.
Mengingat penelitian ini bersifat penelitian pustaka,
maka data yang diperlukan dikumpulkan melalui study dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan (1) bahwa dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional
merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan
pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill), (2) Bahwa visi dan misi
pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif pendidikan islam
indonesia adalah : Pertama,
menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan,
kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri
tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga, pendidikan
pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu keislaman,
pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan menjadi
alternatif bagi People centered development, Value oriented development,
Institution development dan Self reliance and sustainability. (3) Bahwa
kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar fokus
pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin
banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok
pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer. (4) Bahwa dari sisi managemen
kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional saat ini telah
terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis
dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti
model yayasan.
Rekomendasi dalam skripsi ini adalah (1) karena peran
lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam menjawab
krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance terhadap
kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka keberadaannya
perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak. (2) Karena
kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ
merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren
tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan
pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki. (3) Karena
aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu
berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja
dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam
pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan
nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
Kata Kunci:
Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dan Sistem Pembelajaran
A.
Pendahuluan
Pendidikan
merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun
komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan
seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak
afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara konfrehensif dari
ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang
mengikat kebebasan seseorang.
Hal ini terjadi
jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem penguasa yang ada hanya untuk
mengungkung kebebasan individu. Secara memis pendidikan yang ada di Indonesia
adalah sebagian kecil yang terdesain dan terorganisir oleh bingkai sistem.
Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan merampas
kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta kreativitas bifurkasi. Maka
pendidikan telah berubah menjadi instrumen oppressive bagi perkembangan
individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004: 58).
Maka dari pada
itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani
kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan
barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan. Ketika melihat dari
salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tercantum dalam
UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti
luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma
tentang baik dan buruk. Sedangkan menurut Widagdho, manusia sebagai makhluk
pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya
akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang
multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual
(2001: 8).
Begitu
pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan
sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan
cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana
pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut
peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah
termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11:
يرفع
الله الدين امنوا منكم والدين اوتواالعلم درجت
Artinya :
“Allah SWT akan mengangkat
orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat” (Depag RI, 1974: 911).
Relevan dengan
hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari
tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang
kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus
dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan
nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang
benar-benar sadar akan pendidikan.
Melihat fenomena yang terjadi pada saat
sekarang ini banyak kalangan yang mulai melihat sistem pendidikan pesantren
sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja
cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal
tersebut dapat dimengerti karena pesantren memiliki karakteristik yang
memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud.
Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir
diskursus diseputar pesantren menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal
ini tercermin dari berbagai focus wacana, kajian dan penelitian para ahli,
terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja
sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan
menyimpang dari dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir
Abdurrahman Wahid (1984 : 32) Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk
menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri sekaligus
membuka diri terhadap hegemoni eksternal). sebagaimana ditegaskan oleh Hadi
Mulyo (1985 : 71).
Dikatakan unik, karena pesantren memiliki
karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan
kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan
masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah
memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan
Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren
merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan
kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga
pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya
karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan
kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas
polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah
banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat
serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah
gubernemen.
Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar
pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan
model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka
model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang
berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Seandainya
Indonesia tidak mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan
Indonesia akan mengikuti jalur pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang
hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan perguruan
yang semula berorientasi keagamaan semisal univ. Harvard. Sehingga yang ada
bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas,
Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan seterusnya.( 1997 : 22)
Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa
Pesantren --baik sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap
survive hingga saat ini ? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan
pesantren tidak akan bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat
yang kian plural dan kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan
tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum dan modern.
Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya
mempertahankan sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan
keterbelakangan dan kejumuan kaum muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan
sinis menyebutkan sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang
sangat jauh untuk memainkan peran di tengah kehidupan global.
Penilaian psimis ini bila dilacak muncul
dari ketidak akuratan melihat profil Pesantren secara utuh, artinya memang
melihat pesantren “hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa
mengenal lebih jauh watak watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan
selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau bahkan reduktif.
Dari sinilah peneliti tergelitik untuk
melakukan penelitian terhadap pendidikan pondok pesantren tradisional dalam
perspektif pendidikan Islam Indonesia dalam rangka mencari sesuatu yang belum
tersentuh dan tidak terfikirkan oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Penelitian ini bergulat dengan refleksi
pendidikan Islam di Pondok Pesantren tradisional dalam bentuk deskriptif. Salah
satu tujuannya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan Islam di
dunia ini serta meciptakan pemahaman pendidikan Islam yang lebih progresif
konstekstual sehingga mampu menjawab tantangan zaman.
B.
Metode
Di dalam
penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah
satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan
realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya
metode ini digunakan atas tiga pertimbangan: pertama, untuk mempermudah pemahaman realitas ganda. Kedua, menyajikan secara hakiki antara
peneliti dan realitas; ketiga, metode
ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong,
2001:5)
1.
Jenis Penelitian
Jenis penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian pustaka),
yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai teori
untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsepsi untuk
mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil
secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai
instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999:
109).
Peneliti dalam
jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada data-data
yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal ini sebagai
bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain secara
produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.
Dalam liberary
reseach peneliti lebih terfokus dan berhadapan langsung dengan teks literatur
yang relevan tanpa mencari data kemana-mana. Sehingga peneliti hanya melakukan
penelitian melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan (Zed, 2004: 4).
2.
Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan
penelitian yang tidak melibatkan perhitungan (Moleong, 2001: 2), atau
diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah
sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN
“pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku
yang dapat diamati” (2002:19)
Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila
terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini
penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek
penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan
argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5).
Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan
prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.
3.
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tektual
berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa
dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang
terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu,
data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak
kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :
a.
Data Primer
Sumber data
primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa
terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali
kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan
ilmiah.
b.
Data Sekunder
Sumber data sekunder, ialah sumber
data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer
yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian
terhadap bahasan dan pemahaman peneliti
4.
Metode Analisis Data
Analisa data
secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu
proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari
sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri,
2004: 228).
Adapun metode analisis data yang di
gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.
Analisis Reflektif
Metode analisa data yang berpedoman
pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang
kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data
teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).
Dalam metode analisa ini peneliti
akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di
bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif
tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan
ilmiah.
2.
Content Analisis
Content analisis atau di sebut
dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem
dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan
dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan
analisis data deskriptif berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).
Jadi peneliti dalam metode ini akan
menganalisa data berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok
pesantren tradisional.
C.
Kajian Pustaka
Pendidikan
Islam, yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama
menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan
suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. kepribadian yang
memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat
berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai
Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu
menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan
isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999: 9).
Menurut Hasan
Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin (1999), Pendidikan Islam ialah pendidikan
yang memiliki empat macam fungsi yaitu :
·
Menyiapkan generasi muda untuk
memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang.
Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat sendiri.
·
Memindahkan ilmu pengetahuan
yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada
generasi muda.
·
Memindahkan nilai-nilai yang
bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat
mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.
·
Mendidik anak agar beramal di
dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.
An-Naquib
Al-Atas yang dikutip oleh Ali, mengatakan pendidikan Islam ialah usaha yang
dialakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan
tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan
sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ).
Adapun Mukhtar
Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar, mengatakan pendidikan Ialam adalah
seganap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan
nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, dan keseluruhan lembaga-lembaga
pendidikan yang mendasarkannya program pendidikan atau pandangan dan nilai-nilai
Islam (2002: 12).
Pendidikan Islam
adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh
hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam, baik
yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang
diselenggarakan (Soebahar, 2002: 13).
Kendati dalam
peta pemikiran Islam, upaya menghubungkan Islam dengan pendidikan masih
diwarnai banyak perdebatan, namun yang pasti relasi Islam dengan pendidikan
bagaikan dua sisi mata uang, mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis
yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Yang dimaksud
dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama,
ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan terencana
membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan dan pengembangan
potensi mereka secara optimal, agar nantinya dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan hidupnya demi
keselamatan di dunia dan akherat. Kedua,
merupakan usaha yang sistimatis, pragmatis dan metodologis dalam membimbing
anak didik atau setiap individu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran islam secara utuh, demi terbentuknya kepribadian yang utama menurut
ukuran islam. Dan ketiga, merupakan
segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan
mengikuti jalan yang islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di
dunia dan di akherat.
Menurut Fadlil
Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin, pendidikan Islam adalah proses
yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat
kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitroh) dan kemampuan ajarnya
(2003: 18).
Maka dengan
demikian, pendidikan Islam dari beberapa pengertian di atas penulis
menyimpulkan, bahwa pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan
pribadi manusia, baik dari aspek rohaniah, jasmaniah, dan juga harus
berlangsung secara hirarkis. oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu
proses kematangan, perkembangan atau pertumbuhan baru dapat tercapai bilamana
berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan transformatif dan
inovatif.
D. Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian
Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren
yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami
ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang
diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari
kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad
pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia,
ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi
sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang
lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” .
Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak
terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta
didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun
psikomotorik (skill)
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan
karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan
nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya,
namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan
beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi
pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan
Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent
of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga
menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre),
seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50
tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada
Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang
orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup
bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak
manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja
penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada
perubahan pola hidup dimasyarakat.
Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah
masalah sosial masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori
pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang
dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman
keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup
masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya merupakan
kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari
semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin
ia akan menjadi mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren
dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu
tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren
sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar
pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1.
Di Pesantren belum banyak yang
mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang
tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya
juga cenderung bersifat alamiyah.
2.
System kepeminpinan
sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu
lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin
tertangani oleh satu orang.
3.
Dalam merespon perubahan
cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu
bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus
dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu
kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa
jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak
akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4.
Sistem pengajarannya kurang
efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada
peserta didik. Dsb.
Pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi
al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq
(pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat
atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya,
proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang
semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al
din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan.
Meskipun dipesantren, santri lebih
mengutamakan capaian substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal,
akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap
pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam
diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks
historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab
putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks
dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat
kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.
Kultur belajar mengajar di pesantren yang
banyak dirasakan sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi
berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F
Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat
tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke
13 M.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat
persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang
menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan
(ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang
dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana
datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari,
digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”.
Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas,
tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala
sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti
dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual
yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian
(riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif
sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak
mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang
dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat
memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid
yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah
dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”.
Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada
masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.
Dipesantren, lebih banyak menghafal
ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan
mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti
seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan ,
maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang
memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan),
tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi
maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya
terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin,
fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul
fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
Walhasil bahwa pendidikan di
pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu
mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan
tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa
masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional
yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif
mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan
akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit
intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan
pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh
nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan
dilirik untuk memainkan peran sebagai :
1.
Lembaga pendidikan yang memadu
pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik.
2.
Pusat rehabilitasi sosial
(banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan
mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3.
Sebagai pencetak manusia yang
punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan
Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).
Dalam melaksanakan sistem dan proses
pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam
Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran
terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga
pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak
Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di
negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat
sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang
diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz.
Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di
atas, kemudian muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari
tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus.
Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat
peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab
kuning serta kiai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan
komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya,
pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan
merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap
sebagai sektor yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok
pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang
paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di
lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan
diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi
masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan
lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau
dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan
pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam
Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan.
Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang
berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan
Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar
pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat
peserta didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang
mengarah kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta
lain sebagainya adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas.
Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba
memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini
dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan bijaksana.
E.
Simpulan
Pesantren
Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas
aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para
santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat
keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang
ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif
pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok
pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah
dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif
pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan,
pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional
yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif
(knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill).
Dengan demikian,
pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral
dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam
mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga
saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul
sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial
masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang
mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas
persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal
keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat
(Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren
Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian
dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan
pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari
kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan
pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal
pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat
jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga
penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.
F.
Rekomendasi
Dari pembahasan
diatas maka penulis dapat memeberikan beberapa rekomendasi diantaranya:
1.
Karena peran lembaga pendidikan
pondok pesantren tradisional sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian
manusia modern, atau paling tidak sebagai balance terhadap kecenderungan pola
hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat
dukungan yang lebih serius dari semua pihak.
2.
Karena kesuksesan manusia lebih
banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ merupakan aspek utama
yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren tradisional, maka
direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan pendidikan hati
demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki.
3.
Karena aktifitas pendidikan
pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu berkembang positif
di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi
theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan
masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang
patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyadi,
(2011). Pendidikan Pondok Pesantren
Tradisional, (IWF) dan
Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember, Jawa Timur, 15-16 Juli 2011
Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan
Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998)
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan
Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992). Abd. Rahman al-Nahlawi
Hasbulllah.
(2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan.
Jakarta:Rajawali Grafindo.
Iskandar,
J. (2009). Ekologi Manusia dan
Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan
Universitas Padjajaran.
Jarolimek,
J. Parker,W.C.(1993). Social Studies In
Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Company.
Khan,
R.(2010) Critical Pedagogy, Ecoliteracy,
& Planetary Crisi, The Ecopedagogy Movement, New York: Peter lang
Publishing.
Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Permendiknas
Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Sadiman dan Shendi. (2008). untuk SD/MI Kelas 4. Jakarta:Pusbuk,
Depdiknas.
Sapriya.
(2009). Pendidikan Konsep dan Pembelajaran.
Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.
Samani,
M dan Hariyanto.
(2011). Konsepdan Model Pendidikan Karakter.
Bandung:
Soeriaatmadja.
(1997). Ilmu Lingkungan. Bandung:ITB.
Stone
M and Barlow, Z. (2005) Ecological
Literacy: Educating Our Childern for a SustainableWord. San Fransisco:Siera
Club Books.
Sunal.
(2005). Social Studies For Elementary and
Middle Grades A Constructivist Approach. :United State
Sutikno,
S. (2007). Menggagas Pembelajaran Efektif
dan Bermakna, Mataram: NTP Press
Sumaatmadja,
N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia
Manusiawi, Bandung: Alfabeta.
Soemarwoto, O. (1991). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Djambatan.
Tantya dan
Winardi. (2008). IPS untuk SD/MI Kelas 4.
Jakarta: Pusbuk, Depdiknas
Tirtarahardja U dan Sulo. La,
(2005) Pengantar Pendidikan, Jakarta:
Rineka Cipta
Trianto.
(2009). Mendesain Model Pembelajaran
Inovatif-Progresiv, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tim Penulis PLH Bandung (2010). Pendidikan
Lingkungan Hidup untuk Kelas IV. Bandung: Penerbit Prisma Esta.
No comments:
Post a Comment