Monday, 15 December 2014

PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN TRADISIONAL DALAM PERSEPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM DI PESANTREN AL-ISLAMIYAH PALABUHANRATU


ABSTRAK

Diakui atau tidak, Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam dan telah banyak memberikan kontribusi signifikan dalam pembangunan bangsa ini, karena itu tak heran bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Karena banyak hal yang belum tereksplorasi dari pendidikan pondok pesantren tradisonal dalam persepktif pendidikan islam indonesia, maka penelitian ini dilakukan. Secara spesifik penelitian ini bertujuan mendiskripsikan Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dalam Perspektif Pendidikan Islam Indonesia, mendiskripsikan visi dan misi pendidikan pondok pesantren tardisional, mendiskripsikan kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisional, dan mendiskripsikan managemen pendidikan pondok pesantren tradisional
Hasil kajian ini selain sebagai persyaratan memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam (SPdI) di STAI Sukabumi, juga diharapkan bermafaat bagi pihak pihak terkait sebagai bahan komparasi, evaluasi dan pengembangan lebih lanjut, sebagai upaya inovasi ilmiyah untuk memperbanyak kazanah keilmuan juga sebagai masukan dan bahan pertimbangan dalam melakukan kebijakan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan pendidikan.
Mengingat penelitian ini bersifat penelitian pustaka, maka data yang diperlukan dikumpulkan melalui study dokumentasi.
Hasil penelitian ini menunjukkan (1) bahwa dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, pendidikan pondok pesantren tradisional merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill), (2) Bahwa visi dan misi pendidikan pondok pesantren tradisional dalam persepktif pendidikan islam indonesia adalah : Pertama, menekankan pada prinsip asasul khomsah atau panca jiwa, yakni keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan. Kedua, pola relasi kiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi juga bersifat batiniyah.Ketiga, pendidikan pondok pesantren selain diarahkan pada transmisi ilmu ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, juga dimaksudkan menjadi alternatif bagi People centered development, Value oriented development, Institution development dan Self reliance and sustainability. (3) Bahwa kurikulum pendidikan pondok pesantren tradisonal saat ini tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, saat ini di pendidikan pondok pesantren dikhotomi ilmu mulai tidak populer. (4) Bahwa dari sisi managemen kelembagaan, di lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional saat ini telah terjadi perubahan mendasar, yakni dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.
Rekomendasi dalam skripsi ini adalah (1) karena peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak. (2) Karena kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki. (3) Karena aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
Kata Kunci: Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional dan Sistem Pembelajaran
A.         Pendahuluan
Pendidikan merupakan suatu proses di dalam menemukan transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses pendidikan yang benar adalah membebaskan seseorang dari berbagai kungkungan, intimidasi, dan ekploitasi. Disinilah letak afinitas dari paidagogik, yaitu membebaskan manusia secara konfrehensif dari ikatan-ikatan yang terdapat diluar dirinya atau dikatakan sebagai sesuatu yang mengikat kebebasan seseorang.
Hal ini terjadi jika pendidikan dijadikan instrumen oleh sistem penguasa yang ada hanya untuk mengungkung kebebasan individu. Secara memis pendidikan yang ada di Indonesia adalah sebagian kecil yang terdesain dan terorganisir oleh bingkai sistem. Gambaran sistem semacam itu merupakan bentuk pemaksaan kehendak dan merampas kebebasan individu, kesadaran potensi, beserta kreativitas bifurkasi. Maka pendidikan telah berubah menjadi instrumen oppressive bagi perkembangan individu atau komunitas masyarakat (Tilaar, 2004: 58).
Maka dari pada itu, pendidikan adalah merupakan elemen yang sangat signifikan dalam menjalani kehidupan. Karena dari sepanjang perjalanan manusia pendidikan merupakan barometer untuk mencapai maturasi nilai-nilai kehidupan. Ketika melihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan nasional sebagai mana yang tercantum dalam UU RI SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang baik dan buruk. Sedangkan menurut Widagdho, manusia sebagai makhluk pengemban etika yang telah dikaruniai akal dan budi. Dengan demikian, adanya akal dan budi menyebabkan manusia memiliki cara dan pola hidup yang multidimensi, yakni kehidupan yang bersifat material dan bersifat spritual (2001: 8).
Begitu pentingnya pendidikan bagi setiap manusia, karena tanpa adanya pendidikan sangat mustahil suatu komunitas manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan cita-citanya untuk maju, mengalami perubahan, sejahtera dan bahagia sebagaimana pandangan hidup mereka. Semakin tinggi cita-cita manusia semakin menuntut peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana pencapaiannya. Hal ini telah termaktub dalam al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11:
يرفع الله الدين امنوا منكم والدين اوتواالعلم درجت
Artinya :
Allah SWT akan mengangkat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat” (Depag RI, 1974: 911).
Relevan dengan hal tersebut, maka penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dilepaskan dari tujuan yang hendak dicapai. Buktinya dengan penyelenggaraan pendidikan yang kita alami di Indonesia. Tujuan pendidikan mengalami perubahan yang terus menerus dari setiap pergantian roda kepemimpinan. Maka dalam hal ini sistem pendidikan nasional masih belum mampu secara maksimal untuk membentuk masyarakat yang benar-benar sadar akan pendidikan.
Melihat fenomena yang terjadi pada saat sekarang ini banyak kalangan yang mulai melihat sistem pendidikan pesantren sebagai salah satu solusi untuk terwujudnya produk pendidikan yang tidak saja cerdik, pandai, lihai, tetapi juga berhati mulia dan berakhlakul karimah. Hal tersebut dapat dimengerti karena pesantren memiliki karakteristik yang memungkinkan tercapainya tujuan yang dimaksud.
Karena itu, sejak lima dasawarsa terakhir diskursus diseputar pesantren menunjukkan perkembangkan yang cukup pesat. Hal ini tercermin dari berbagai focus wacana, kajian dan penelitian para ahli, terutama setelah kian diakuinya kontribusi dan peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid (1984 : 32) Tetapi juga sebagai “institusi kultural” (untuk menggambarkan sebuah pendidikan yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka diri terhadap hegemoni eksternal). sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo (1985 : 71).
Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini menunjukkan kemampuannya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, Ia telah memberikan andil yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat.
Menurut Rahim (2001 : 28), pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam, ia adalah lembaga pendidikan yang dapat dikategorikan sebagai lembaga unik dan punya karakteristik tersendiri yang khas, sehingga saat ini menunjukkan kapabilitasnya yang cemerlang melewati berbagai episode zaman dengan pluralitas polemik yang dihadapinya. Bahkan dalam perjalanan sejarahnya, pesantren telah banyak memberikan andil dan kontribusi yang sangat besar dalam ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan terhadap masyarakat serta dapat menghasilkan komunitas intelektual yang setaraf dengan sekolah gubernemen.
Oleh karena itu tak mengherankan bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita citakan model system pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dipertahan kembangkan.
Menurut Nur Cholis Madjid, Seandainya Indonesia tidak mengalami penjajahan, maka pertumbuhan sistem pendidikan Indonesia akan mengikuti jalur pesantren sebagaimana terjadi di Barat yang hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan perguruan yang semula berorientasi keagamaan semisal univ. Harvard. Sehingga yang ada bukan UI, ITB, UGM, UNAIR dan lain sebagainya, tetapi mungkin Univ. Tremas, Univ. Krapyak, Tebuireng, Bangkalan dan seterusnya.( 1997 : 22)
Yang menarik untuk ditelaah adalah mengapa Pesantren --baik sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial-- masih tetap survive hingga saat ini ? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum dan modern.
Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumuan kaum muslimin (1997 : 11). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di tengah kehidupan global.
Penilaian psimis ini bila dilacak muncul dari ketidak akuratan melihat profil Pesantren secara utuh, artinya memang melihat pesantren “hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya” tanpa mengenal lebih jauh watak watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau bahkan reduktif.
Dari sinilah peneliti tergelitik untuk melakukan penelitian terhadap pendidikan pondok pesantren tradisional dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia dalam rangka mencari sesuatu yang belum tersentuh dan tidak terfikirkan oleh sistem pendidikan Islam di Indonesia.
Penelitian ini bergulat dengan refleksi pendidikan Islam di Pondok Pesantren tradisional dalam bentuk deskriptif. Salah satu tujuannya untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan Islam di dunia ini serta meciptakan pemahaman pendidikan Islam yang lebih progresif konstekstual sehingga mampu menjawab tantangan zaman.


B.            Metode
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif. Hal ini merupakan salah satu jenis metode yang menitik beratkan pada penalaran yang berdasarkan realitas sosial secara objektif dan melalui paradigma fenomenologis, artinya metode ini digunakan atas tiga pertimbangan: pertama, untuk mempermudah pemahaman realitas ganda. Kedua, menyajikan secara hakiki antara peneliti dan realitas; ketiga, metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri pada bentuk nilai yang dihadapi. (Moleong, 2001:5)
1.    Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah liberary research (kajian pustaka), yaitu jenis penelitian yang menjadikan data-data kepustakaan sebagai teori untuk dikaji dan di telaah dalam memperoleh hipotesa dan konsepsi untuk mendapatkan hasil yang objektif. Dengan jenis ini informasi dapat diambil secara lengkap untuk menentukan tindakan ilmiah dalam penelitian sebagai instrumen penelitian memenuhi standar penunjang penelitian (Subagyo, 1999: 109).
Peneliti dalam jenis penelitian ini mengambil asumsi-asumsi yang di dasarkan pada data-data yang mendukung untuk memperoleh wawasan kreatif dan imajinatif. Hal ini sebagai bentuk komparasi terhadap satu konsepsi pemikiran dengan yang lain secara produktif dengan tidak meninggalkan dasar ilmiah.
Dalam liberary reseach peneliti lebih terfokus dan berhadapan langsung dengan teks literatur yang relevan tanpa mencari data kemana-mana. Sehingga peneliti hanya melakukan penelitian melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan (Zed, 2004: 4).
2.    Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu jenis pendekatan penelitian yang tidak melibatkan perhitungan (Moleong, 2001: 2), atau diistilahkan dengan penelitian ilmiah yang menekankan pada karakter alamiah sumber data. Sedangkan menurut Bagdan dan Taylor dalam buku panduan STAIN “pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati” (2002:19)
Metode kualitatif digunakan berdasarkan pertimbangan apabila terdapat realitas ganda lebih memudahkan penelitian dan dengan metode ini penajaman pengaruh dan pola nilai lebih peka disesuaikannya. Sehingga objek penelitian dapat dinilai secara empirik melalui pemahaman intelektual dan argumentasi logis untuk memunculkan konsepsi yang realistis (Moleong, 2001: 5). Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang bekerja berdasarkan pada perhitungan prosentasi, rata-rata dan perhitungan statistik lainnya.

3.    Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yang bersifat tektual berupa konsep dan tulisan. Aspek-aspek yang akan diteliti adalah seputar apa dan bagaimana definisi, konsep, persepsi, pemikiran dan argumentasi yang terdapat di dalam literatur yang relevan dengan pembahasan. Oleh karena itu, data yang akan diambil dan dikaji berasal dari data verbal yang abstrak kualitatif. Sedangkan data yang digunakan antara lain :
a.      Data Primer
Sumber data primer, ialah sumber data yang diperoleh melalui pengamatan dan analisa terhadap literatur-literatur pokok yang dipilih untuk dikaji kembali kesesuaiannya antara teks dengan realitas berdasarkan berbagai macam tinjauan ilmiah.
b.      Data Sekunder
Sumber data sekunder, ialah sumber data yang di peroleh dari sumber-sumber bacaan yang mendukung sumber primer yang di anggap relevan, hal tersebut sebagai penyempurnaan bahan penelitian terhadap bahasan dan pemahaman peneliti
4.    Metode Analisis Data
Analisa data secara umum di lakukan dengan cara menghubungkan apa yang di peroleh dari suatu proses kerja awal. hal ini di tujukan untuk memahami data yang terkumpul dari sumber, yang kemudian untuk di ketahui kerangka berfikir peneliti ( Bisri, 2004: 228).
Adapun metode analisis data yang di gunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
1.    Analisis Reflektif
Metode analisa data yang berpedoman pada cara berfikir reflektif. Pada dasarnya metode ini adalah kombinasi yang kuat antara berfikir deduktif dan induktif atau dengan mendialogkan data teoritik dan data empirik secara bolak balik kritis ( STAIN, 2002: 16).
Dalam metode analisa ini peneliti akan memecahkan masalah dengan pengumpulan data-data dan informasi untuk di bandingkan kekurangan dan kelebihan dari setiap literatur atau alternatif tersebut. sehingga pada penyimpulan akan di peroleh data yang rasional dan ilmiah.
2.    Content Analisis
Content analisis atau di sebut dengan analisis isi adalah suatu metode untuk memahami wacana atau problem dengan mencari inti dari wacana tersebut ( Musyarofah, 2002: 15). Maka berkenaan dengan pengolahan dan analisis data, content analisis di artikan pula dengan analisis data deskriptif berdasarkan isinya ( Suryabrata, 1998: 85).
Jadi peneliti dalam metode ini akan menganalisa data berdasarkan fenomena yang terjadi dalam pendidikan pondok pesantren tradisional.
C.                     Kajian Pustaka
Pendidikan Islam, yaitu bimbingan jasmani dan rohani menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian lain Pendidikan Islam merupakan suatu bentuk kepribadian utama yakni kepribadian muslim. kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bertujuan membentuk individu menjadi makhluk yang bercorak diri, berderajat tinggi menurut ukuran Allah dan isi pendidikannya adalah mewujudkan tujuan ajaran Allah (Djamaluddin, 1999: 9).
Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Djamaluddin (1999), Pendidikan Islam ialah pendidikan yang memiliki empat macam fungsi yaitu :
·       Menyiapkan generasi muda untuk memegang peranan-peranan tertentu dalam masyarakat pada masa yang akan datang. Peranan ini berkaitan erat dengan kelanjutan hidup masyarakat sendiri.
·       Memindahkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan peranan-peranan tersebut dari generasi tua kepada generasi muda.
·       Memindahkan nilai-nilai yang bertujuan untuk memilihara keutuhan dan kesatuan masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi kelanjutan hidup suatu masyarakat dan peradaban.
·       Mendidik anak agar beramal di dunia ini untuk memetik hasilnya di akhirat.
An-Naquib Al-Atas yang dikutip oleh Ali, mengatakan pendidikan Islam ialah usaha yang dialakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan keberadaan (1999: 10 ).
Adapun Mukhtar Bukhari yang dikutip oleh Halim Soebahar, mengatakan pendidikan Ialam adalah seganap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa, dan keseluruhan lembaga-lembaga pendidikan yang mendasarkannya program pendidikan atau pandangan dan nilai-nilai Islam (2002: 12).
Pendidikan Islam adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejewantahkan nilai-nilai Islam, baik yang tercermin dalam nama lembaganya maupun dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan (Soebahar, 2002: 13).
Kendati dalam peta pemikiran Islam, upaya menghubungkan Islam dengan pendidikan masih diwarnai banyak perdebatan, namun yang pasti relasi Islam dengan pendidikan bagaikan dua sisi mata uang, mereka sejak awal mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar, baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis.
Yang dimaksud dengan pendidikan Islam disini adalah : pertama, ia merupakan suatu upaya atau proses yang dilakukan secara sadar dan terencana membantu peserta didik melalui pembinaan, asuhan, bimbingan dan pengembangan potensi mereka secara optimal, agar nantinya dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam sebagai keyakinan dan pandangan hidupnya demi keselamatan di dunia dan akherat. Kedua, merupakan usaha yang sistimatis, pragmatis dan metodologis dalam membimbing anak didik atau setiap individu dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam secara utuh, demi terbentuknya kepribadian yang utama menurut ukuran islam. Dan ketiga, merupakan segala upaya pembinaan dan pengembangan potensi anak didik untuk diarahkan mengikuti jalan yang islami demi memperoleh keutamaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akherat.
Menurut Fadlil Al-Jamali yang dikutip oleh Muzayyin Arifin, pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik dan mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitroh) dan kemampuan ajarnya (2003: 18).
Maka dengan demikian, pendidikan Islam dari beberapa pengertian di atas penulis menyimpulkan, bahwa pendidikan Islam sebagai usaha membina dan mengembangkan pribadi manusia, baik dari aspek rohaniah, jasmaniah, dan juga harus berlangsung secara hirarkis. oleh karena itu, pendidikan Islam merupakan suatu proses kematangan, perkembangan atau pertumbuhan baru dapat tercapai bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan transformatif dan inovatif.

D.                     Analisis dan Pembahasan Hasil Penelitian

Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill)
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.
Meskipun dalam melakukan pemecahan masalah masalah sosial masyarakat sekitarnya, pesantren tidak menggunakan teori pembanguan seperti yang digunakan pemerintah, dan lebih pada gerakan yang dilandaskan pada amal saleh, sebagai refleksi dari penghayatran dan pemahaman keberagamaan sang kyai, tetapi efektifitasnya dalam merubah pola hidup masyarakat tidak dapat disangsikan. Keunggulan keunggulan itu sesunggunhnya merupakan kekayaan Bangsa ini yang jika kian mendapat dukungan yang lebih signifikan dari semua pihak dalam skenario besar kehidupan berbangsa, maka bukan tidak mungkin ia akan menjadi mutiara yang sangat berharga bagi perbaikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekali lagi, melakukan pengamatan terhadap dunia pesantren dengan memakai pendekatan formatif dan teori ilmu ilmu sosial Barat, tentu tidak akan akurat.
Namun demikian tidak berarti pesantren sebagai lembaga pendidikan terbebas dari berbagai kelemahan, Para pakar pendidikan mencatat beberapa kelemahan mendasar, antara lain :
1.    Di Pesantren belum banyak yang mampu merumuskan visi, misi dan tujuan pendidikannya secara sistimatik yang tertuang dalam program kerja yang jelas. Sehingga tahapan pencapaian tujuannya juga cenderung bersifat alamiyah.
2.    System kepeminpinan sentralistik yang tidak sepenuhnya hilang, sehingga acapkali mengganggu lancarnya mekanisme kerja kolektif, padahal banyak perubahan yang tidak mungkin tertangani oleh satu orang.
3.    Dalam merespon perubahan cenderung sangat lamban, konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh wal ajdu bil jadidil aslah” selalu ditempatkan pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak, padahal ibarat orang naik tangga, ketika salah satu kaki meninggalkan tangga yang bawah, kaki satunya melayang layang diudara, bisa jadi terpeleset atau jatuh, itu resiko, bila takut menghadapi resiko, dia tidak akan pernah beranjak dari tangga terbawah.
4.    Sistem pengajarannya kurang efesien, demokratis dan variatif, sehingga cepat memunculkan kejenuhan pada peserta didik. Dsb.

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki beberapa fungsi, diantaranya adalah fungsi Tafaqquh fi al din (pendalaman pengetahuan tentang agama), fungsi tarbiyah al akhlaq (pembentukan kepribadian / budi pekerti), dan fungsi pengembangan masyarakat atau pusat rehabilitasi sosial. Hanya saja dalam konteks pendidikan , tepatnya, proses belajar mengajar, konsep tafaqquh fi al din kurang mendapat porsi yang semestinya, yang terjadi di pesantren, penekanannya bukan pada tafaqquh fi al din, tetapi sekeder transfer ilmu pengetahuan.
Meskipun dipesantren, santri lebih mengutamakan capaian substansial keilmuannya ketimbang capaian capaian formal, akan tetapi tetap ada tuntutan yang mendesak agar ada re-presepsi terhadap pemahaman kitab kuning, yaitu bukan sekedar memahami sebagaimana adanya, hitam diatas putih terhadap teks yang terdapat dalam kitab kuning, namun juga konteks historisnya. Atau bahkan tidak sekedar kitab kuning, tapi juga mungkin kitab putih, hitam, merah dan biru. tuntutan untuk memahami komprehensitas konteks dari leteratur klasik merupakan tuntutan yang amat mendasar sebagai syarat kwalifikasi keilmuan dalam rangka menjawab berbagai tantangan global.
Kultur belajar mengajar di pesantren yang banyak dirasakan sebagai kurang memberi kelonggaran untuk bertanya, apalagi berdebat, terutama dalam rumusan “mengapa“, hal yang demikian menurut Masdar F Mas’udi (1993 : 11) karena berhubungan erat dengan akar historis yang amat tipikal dalam kehidupan masyarakat islam zaman kemandegan Pertengahan abad ke 13 M.
Di sebagian masyarakat Pesantren terdapat persepsi atau frem yang tidak sepenuhnya benar, yakni sebuah frem yang menganggap bahwa ilmu bukanlah sesuatu yang lahir dari proses pengamatan (ru’ya) dan penalaran (ra’yu), melainkan suatu nur yang memancar atau yang dipancarkan dari atas dari sebuah sumber yang tidak diketahui bagaimana datangnya. Akhirnya muncul persepsi bahwa ilmu bukan sesuatu yang harus dicari, digali dan diupayakan dari bawah, melainkan sesuatu yang ditunggu dari “atas”. Giliran selanjutnya ternyata bukan hanya ilmu yang diyakini memancar dari atas, tetapi juga termasuk kemampuan kemanpuan lain manusia atau bahkan segala sesuatu yang terhampar di alam semesta ini . akibatnya adalah apa yang mesti dilakukan seseorang untuk memperoleh ilmu adalah menyediakan kondisi spiritual yang kondusif bagi hadirnya anugrah itu melalui latihan latihan kerohanian (riyadhah) secara intensif dan benar.
Nah dalam proses riyadhah, pada perspektif sufi, difahami bahwa seorang murid tak ubahnya bagaikan si buta yang tak mungkin menemukan jalan tanpa uluran tangan seorang guru (mursyid) yang dipercaya mengantarkannya kepada Tuhan yang maha kuasa. Disinilah kita dapat memahami posisi guru menjadi demikian signifikan dan vital bagi seorang murid yang hendak mengarungi jalan bathin. Syair sufi mengatakan “ hendaklah dihadapan gurumu, engakau bagaikan sebujur mayat ditangan yang memandikannya”. Hal yang seperti ini jelas akan melemahkan daya kritis dan kreatifitas pada masyarakat pesantren, lebih lebih di jaman serba canggih ini.
Dipesantren, lebih banyak menghafal ketimbang kemampuan memahami dan menalar ilmu ilmu itu, diakui bahwa kemampuan mengingat dan menghafal bukan sesuatu yang tidak penting, akan tetapi mesti seimbang dengan kemampuan menalar, sebab kalau dimensi menalar dilemahkan , maka dengan sendirinya santri menjadi tidak mempunyai daya kritisitas yang memadai. Akhirnya proses pendidikan hanya bersifat transfer (memindahkan), tidak ada proses pendalaman, pemahaman dan kajian. Nah bila ini yang terjadi maka bukan tafaqquh tapi hanya tahafudz.
Leteratur yang dikaji jangan hanya terbatas pada kitab yang sudah menjadi barang jadi, seperti, fahtul muin, fathul wahab, tetapi diprioritaskan pada ilmu metodologinya, seperti : ushul fiqh, tarikh tasyri’ dan semacamnya.
Walhasil bahwa pendidikan di pesantren ada kelemahan dan kelebihannya, tapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan tersebut dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi salah satu alternatif yang cukup menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit intelektual, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya,. Dalam suasana yang seperti ini, lembaga pendidikan pesantren akan dilirik untuk memainkan peran sebagai :
1.    Lembaga pendidikan yang memadu pendidikan integralistik, humanistik, pragmatik, idealistik dan realistik.
2.    Pusat rehabilitasi sosial (banyak keluarga yang mengalami kegoncangan psikologi spiritual akan mempercayakan penyeklamatannya pada pesantren)
3.    Sebagai pencetak manusia yang punya keseimbangan trio cerdas, yakni Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional (EQ) Dan kecerdasan Spiritual (SQ).

Dalam melaksanakan sistem dan proses pengajaran, pendidikan pondok pesantren dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia mempunyai peran serta memiliki unsur-unsur atau kontribusi pemikiran terhadap berkembang dan tumbuhnya pendidikan Islam. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mengajarkan agama Islam kepada masyarakat dan anak-anak Indonesia, telah lahir dan berkembang semenjak masa awal kedatangan Islam di negeri ini. Pada masa awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini bersifat sangat sederhana berupa pengajian al-Qur’an dan tata cara beribadah yang diselenggarakan di masjid, surau, atau dirumah-rumah ustadz.
Keberadaan lembaga-lembaga yang tersebut di atas, kemudian muncul dan berkembang dengan nama pesantren, ini terus tumbuh didasari tanggung jawab untuk menyampaikan Islam kepada masyarakat dan generasi penerus. Pondok sebagai asrama tempat tinggal para santri, masjid sebagai pusat peribadatan dan pendidikan, santri sebagai pencari ilmu, pengajaran kitab kuning serta kiai yang mengasuh merupakan lima elemen dasar keberadaannya.
Secara mayoritas pondok pesantren merupakan komunitas belajar keagamaan yang erat hubungannya dengan lingkungan sekitarnya, pada umumnya masyarakat pedesaan. Komunitas tersebut kehidupan keagamaan merupakan bagian integral dalam kenyataan hidup sehari-hari, dan tidak dianggap sebagai sektor yang terpisah. Oleh karena itu, sosok kiai dalam dunia pondok pesantren tidak dapat dipisahkan, karena keberadaannya merupakan unsur yang paling signifikan dan sebagai pimpinan keagamaan atau sesepuh yang diakui di lingkungan serta diperhatikan nasehat-nasehatnya.
Oleh sebab itu, pondok pesantren bukan diperuntukkan sebagai tempat pendidikan bagi santri semata, melainkan juga bagi masyarakat sekitarnya. Hal ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikannya dengan jelas.
Sebagaimana telah dijelaskan atau dideskripsikan pada pembahasan sebelumnya, inti atau penekanan pendidikan pondok pesantren sebagai wadah dan tempat tercapainya suatu pendidikan Islam Indonesia, yakni tercapainya tujuan pembangunan nasional bidang pendidikan. Secara realistis banyak kalangan menilai bahwa sistem pendidikan yang berlangsung di tanah air ini masih belum mampu mengantarkan tercapainya pendidikan Islam, yaitu membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Terbukti semakin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi pengedaran narkoba yang merajalela, kurangnya rasa hormat peserta didik kepada pendidik dan orang tua, munculnya egoisme kesukuan yang mengarah kepada separatisme, rendahnya moral para penyelenggara negara serta lain sebagainya adalah indikasi-indikasi yang mendukung penilaian di atas. Berpijak dari konsep dasar itulah pendidikan pondok pesantren mencoba memberikan respon dalam menanggapi sistem pendidikan yang ada di tanah air ini dan dituntut adanya penyikapan yang arif dan bijaksana.
E.                     Simpulan
Pesantren Tradisional adalah jenis pesantren yang mempertahankan kemurnian identitas aslinya sebagai tempat menalami ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi-I-din) bagi para santrinya. Semua materi yang diajarkan dipesantren ini sepenuhnya bersifat keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab berbahasa arab (kitab kuning) yang ditulis oleh para ulama’ abad pertengahan.
Dalam perspektif pendidikan Islam Indonesia, ada yang menyebutkan bahwa pendidikan pondok pesantren tradisional berposisi sebagai sub ordinat yang bergerak pada wilayah dan domaian pendidikan hati yang lebih menekankan pada aspek “afektif pendidikan “ atau “atticude pendidikan” . Namun sebagian yang lain menyebutkan, pendidikan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional yang memberikan pencerahan bagi peserta didik secara integral, baik kognitif (knowlagde), afektif (attucude) maupun psikomotorik (skill).
Dengan demikian, pesantren dengan sistem dan karakternya yang khas telah menjadi bagian integral dari sistem pendidikan nasional, meski mengalami pasang surut dalam mempertahankan visi, misi dan eksistensinya, namun tak dapat disangkal hingga saat ini pesantren tetap survive, bahkan beberapa diantaranya bahkan muncul sebagai model gerakan alternatif bagi pemecahan masalah masalah sosial masyarakat desa, seperti yang dilakukan Pesantren Pabelan di Mangelang yang mendapat penghargaan “Aga Khan’ tahun 1980.
Efektifitas persantren untuk menjadi agent of change sebenarnya terbentuk karena sejak awal keberadaannya pesantren juga menempatkan diri sebagai pusat belajar masyarakat (Commonity learing centre), seperti di contohkan Gur Dur pada Pesantren Denanyar Jombang yang selama 50 tahun tidak pernah surut memberikan pengajian dan problem solving gratis pada Ibu ibu rumah tangga di desa desa lingkungan pesantren dan sekitarnya.
Hasil dari kegiatan ini memang bukan orang orang yang berijazah, tetapi pembentukan pandangan, nilai nilai dan sikap hidup bersama dimasyarakat, padahal pembangunan oleh pemerintah acapkali tidak manjangkau sisi ini. Disini terlihat jelas bahwa Pesantren bukan saja penyelenggara pendidikan, tetapi juga penyelenggara dakwah yang mengajak pada perubahan pola hidup dimasyarakat.
F.                      Rekomendasi
Dari pembahasan diatas maka penulis dapat memeberikan beberapa rekomendasi diantaranya:
1.      Karena peran lembaga pendidikan pondok pesantren tradisional sangat penting dalam menjawab krisis kerohanian manusia modern, atau paling tidak sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup hedonistik dan ketidak jujuran, maka keberadaannya perlu mendapat dukungan yang lebih serius dari semua pihak.
2.      Karena kesuksesan manusia lebih banyak ditentukan oleh faktor EQ dan SQ, sedangkan SQ merupakan aspek utama yang menjadi focus dari pendidikan pondok pesantren tradisional, maka direkomendasikan kepada semua pihak untuk terus mengembangkan pendidikan hati demi memperoleh kesuksesan hidup yang hakiki.
3.      Karena aktifitas pendidikan pondok pesantren tradisional sejak awal kelahirannya mampu berkembang positif di masyarakat bahkan mempunyai kontribusi vital tidak saja dalam dimensi theologis tetapi juga sosial sebagai lokomotif utama dalam pencerahan masyarakat, maka tentu saja ia merupakan hazanah dan kekayaan nasional yang patut dilestarikan di bumi nusantara tercinta ini.
DAFTAR PUSTAKA

Mulyadi, (2011). Pendidikan Pondok Pesantren Tradisional, (IWF) dan Balai Taman Nasional Meru Betiri Jember, Jawa Timur, 15-16 Juli 2011
Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1998)
Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992). Abd. Rahman al-Nahlawi
Hasbulllah. (2005). Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta:Rajawali Grafindo.

Iskandar, J. (2009). Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan, Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan Universitas Padjajaran.

Jarolimek, J. Parker,W.C.(1993). Social Studies In Elementary Education. New York: Macmillan Publishing Company.

Khan, R.(2010) Critical Pedagogy, Ecoliteracy, & Planetary Crisi, The Ecopedagogy Movement, New York: Peter lang Publishing.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun  2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)
Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi
Sadiman dan Shendi. (2008).  untuk SD/MI Kelas 4. Jakarta:Pusbuk, Depdiknas.
Sapriya. (2009). Pendidikan  Konsep dan Pembelajaran. Bandung:PT.Remaja Rosdakarya.

Samani, M dan Hariyanto. (2011). Konsepdan Model Pendidikan Karakter. Bandung:

Soeriaatmadja. (1997). Ilmu Lingkungan. Bandung:ITB.

Stone M and Barlow, Z. (2005) Ecological Literacy: Educating Our Childern for a SustainableWord. San Fransisco:Siera Club Books.

Sunal. (2005). Social Studies For Elementary and Middle Grades A Constructivist Approach. :United State

Sutikno, S. (2007). Menggagas Pembelajaran Efektif dan Bermakna, Mataram: NTP Press
Sumaatmadja, N. (2002). Pendidikan Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung: Alfabeta.
Soemarwoto, O. (1991). Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan.

Tantya dan Winardi. (2008). IPS untuk SD/MI Kelas 4. Jakarta: Pusbuk, Depdiknas

Tirtarahardja U dan Sulo. La, (2005) Pengantar Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresiv, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tim Penulis PLH Bandung (2010). Pendidikan Lingkungan Hidup untuk Kelas IV. Bandung: Penerbit Prisma Esta.


No comments:

Post a Comment